Selasa, 04 Januari 2011

POLITIK


Politik adalah asal moelanja terambil daripada bahasa Asing “polis”. Jang ma’nanja: “kota” negeri atau negara”. Sehingga kata-kata “politik” itoe mengandoeng ma’na: tjara-tjara mengatoer dan memerintah sesoeatoe negara.

Doeloe pada zaman pendjadjahan Belanda. Negara kita diperintah oleh bangsa Belanda. Mereka merasa mempoenjai hak memasoekkan dirinja dalam golongan “bangsa jang dipertoean”, sedang bangsa Indonesia dianggapnja sebagai “bangsa jang diperhamba”, bangsa jang mempoenjai djiwa boedak, jang tjoema patoet diperintah, ditindas dan dirampas. Sementara itou bangsa Indonesia kehilangan hak-haknja oen-toek menentoekan nasibnja sendiri, oentoek mengatoer dan memerintah negeri dan bangsanja sendiri. Keadaan jang seroepa itoe berlakoe atas kita sekalian koerang lebih tiga setengah abad lamanja (350 tahoen).

Kemoedian, setelah Belanda lari meninggalkan Indonesia, maka datanglah “tamoe baroe, jang menamakan dirinja saudara-toea” (Djepang), jang dengan segera laloe mendoedoeki seloeroeh Kepoelauan Indonesia Oesaha Djepangisme ingin memperdjepangkan seloeroeh Asia, teroetama Indonesia, hanja berdjalan lebih-koerang 3 setengah tahoen.. Keadaan ra’jat bangsa kita dibawah perintah kapitalis Belanda atau dibawah fascis Djepang “setali tiga oeang”, alias sama sadja. Sebab kedoea bangsa itoe terpengaroeh oleh nafsoenja, oentoek menindas dan memperkoedakan bangsa lain, jang lazimnja menoeroet terminologi (istilah) politik dikatakan “imperialisme.”

Sampai pada dewasa itoe bangsa Indonesia hanja tahoe satoe kewadjiban ialah “kewadjiban diperintah” dan tjoema kenal satoe hak ialah “hak hamba-sahaja”, jang hidoepnja boeat ditindas dan diperas (diperah). Enjahkanlah sifat “Belandaisme”, jang membawa kekoefoeran bagi kita! Moesnahkanlah sifat “Djepangisme”, jang menanam benih kemoesjrikan atas bangsa dan Oemmat Islam Indonesia! Kedoea-doea djalan itoe menoedjoe ke arah Neraka, neraka doenia dan neraka achirat!

Betoel, doeloe pada zaman Belanda achir kita dinina-bobok-kan dan diberi per-mainan boneka, jang bernamakan “hak politik”. Tetapi sikap “manis” dari pada bangsa Belanda jang seroepa itoe tidaklah sekali-kali timboel dari pada keloehoeran boedi dan kemoerahan hati. Tidak! Sekali-kali tidak! Bangsa Belanda (pemerintah djadjahan) memberi hak “jang sesoenggoehnja boekan hak itoe”, karena (1) takoet tjelaan doenia internasional atas beleid Belanda memerintah Indonesia, sebagai tanah djadjahan, (2) dichawatirkan boleh timboel pemberontakan jang maha hebat, dan (3) walaupoen bangsa Belanda tidak tahoe maloe, tetapi dengan kenjataan jang ta’dapat dibantah oleh berita dan tjerita, terpaksalah mereka mengakoei, bahwa bangsa Indonesia boekanlah sebangsa “koeda beban”, jang hanja tahoe memikoel kewadjiban sadja.

Apa lagi setelah selesai Perang Doenia jang pertama, dan dilangsoengkan “Per-djandjian Damai di Versailles” (1919), maka bangsa Belanda makin radjin mentjari tipoe daja dan tipoe moeslihat jang “haloes-haloes”, bagi mempertahankan dan menjen-tausakan kekoeasaan Belanda di Indonesia. Salah satoe tipoe daja jang haloes itoe ialah “hak politik”.

Pada waktoe itoe bangsa Indonesia dikatakan “mempoenjai hak politik”. Tetapi…. Di belakang, di samping kanan dan disamping kiri, bahkan pada tiap-tiap pendjoeroe dipasangnja berbagai-bagai perangkap, jang meroepakan goda dan bentjana, halangan dan rintangan, fitnah dan aniaja. Beloem terhitoeng banjaknja provokasi dan intimidasi, jang dihamboer-hamboerkan di tengah-tengah pergerakan ra’jat.

Ini semoeanja memaksa ra’jat dan pemimpin ra’jat jang “loenak” itoe, ridlo menerima nasib papa dan sengsara, nasib ditahan dan ditangkap, nasib diboeang dan naik tiang-gantoengan. Soenggoeh berat resiko jang haroes ditanggoeng oleh tiap-tiap pemimpin ra’jat pada waktoe itoe, baik jang berhaloean maoepoen jang diloearnja. Itoe semoeanja akibat-akibat politik jang “katanja” mendjadi hak dan miliknja ra’jat Indonesia.

Mengingat keadaan dan kedjadian jang sedemikian itoe, maka “hak politik” pada waktoe itoe boekanlah soeatoe hak, jang patoet diterima dan dimiliki oleh sesoeatoe bangsa jang beradab. Bahkan didalam pandangan setengah bangsa kita, jang koerang pengetahoean dan pengertian, maka kata-kata “politik” itoe seolah-olah mengandoeng “hantoe” jang menakoetkan dan mendahsjatkan.

Inilah sebabnja kata-kata “politik” mendjadi tjemar, karena noda jang dilemparkan oleh politik djadjahan pada waktoe itoe. Sehingga politik didjaoehi, dibentji, ditjatji, bahkan ada poela jang berani mengharamkan bergerak dan berboeat politik.

Pada zaman pendoedoekan Djepang, maka keadaannja lebih menjedihkan daripada zaman Belanda. Semoeanja pergerakan politik-dengan tiada ketjoealinja-disapoe bersih. Kehidoepan politik dibongkar sampai keakar-akarnja, atau diboenoeh mati. Hak politik boeat ra’jat nul, tidak barang sedikit poen diberikan. Tetapi ra’jat tampak masih setia dan menoeroet, padahal sesoenggoehnja hanja takoet kepada “nakir dan moenkar” jang bermain dibelakang lajar politik Djepangisme, ialah kenpeitai dan gestaponja, jang soenggoeh amat serem sekali itoe.

Waktoe itoe praktis tiada hak politik bagi ra’jat Indonesia, melainkan semoea djedjak dan langkah haroes dialirkan kepada Tokio, ialah poesat persembahan manoe-sia-berhala, jang bernamakan Tennoo Heika, dan kiblatnja semoea djepangisme, dan ke-moesjrikan a’la Djepang. Na’oedzoe billahi min dzalik

Dari sebab itoe, sekali lagi kami seroekan: lenjapkanlah segala matjam sifat koloni-alisme atau sisa-sisa Belandaisme daripada toeboehnja masjarakat Indonesia dan daripada diri kita masing-masing! Dan basmilah poela semoea sifat Djepangisme, ialah djalan-djalan jang membawa kesengsaraan doenia dan achirat!

Sekarang, Negara dan Ra’jat Indonesia soedah merdeka, hampir tjoekoep setahoen oemernja.
Kini baroe merdeka “de facto” (njata menoeroet boekti) dan tidak lama lagi insja Allah mendjadi merdeka “de jure”,bilamana waktoe-waktoe salah satoe negeri loear mengesahkan kemerdekaan Negara kita. Pada sa’at itoelah kemerdekaan Indonesia mendjadi boelat, 100 pCt penoeh, tidak lebih dan tidak koerang, sehingga dalam ikatan dan persatoean bangsa-bangsa di doenia, negara kita akan mendapat kedoedoekan, jang sederadjat dan sedjadjar dengan Negara2 merdeka jang lainnja.

Soedah setahoen lamanja kita memerintah Negara kita sendiri. Oleh sebab itoe, maka tiap-tiap warga Negara seharoes dan sewadjibnja tahoe dan sadar dalam hal poli-tik (politik-bewush). Tahoe dan sadar, bahwa tiap-tiap warga Negara mempoenjai hak dan kewadjiban jang sepenoeh-penoehnja oentoek ikoet memegang kemoedi pemerintah negeri. Sifat, “masa-bodoh”, seperti pada zaman Belanda dan Djepang, haroeslah dihalaukan sedjaoeh-djaoehnja dari pikiran dan amal-perboeatan kita.

Politik, jang doeloe pada zaman Belanda dan Djepang “dibentji dan ditakoeti”, maka sekarang pada zaman merdeka “ditjinta dan disoekai”, Selandjoetnja, politik jang doeloe oleh setengah orang “diharamkan”, maka sekarang didalam soeasana Indo-nesia Merdeka “politik adalah halal, bahkan wadjib” bagi tiap-tiap warga Negara, teroetama jang mengakoe Oemmat Islam, Oemmat Moehammad.

Djika didalam kalangan ra’jat dan masjarakat masih terdapat sifat “kolonialisme Belanda” atau “fascisme Djepang”, tolonglah obati penjakit itoe sampai semboeh sama sekali. Sebab sifat koeda beban-Belanda atau andjing Djepang jang sebodoh itoe tidak lagi patoet mendjadi sifatnja seorang warga daripada soeatoe Negara jang soedah merdeka. Sebaliknja daripada itoe, kita tidak perloe berlomba-lomba begitoe roepa, sehingga meroepakan persaingan dan bereboet-reboetan koersi, jang akibat dan natidjahnja tidak lain, melainkan peroesoehan, kekatjauan dan perganggoean keamanan dan ketertiban oemoem.

Dengan keterangan ringkas terseboet diatas, maka hendaknja tiap-tiap warga Negara, teroetama jang termasoek golongan Oemmat Islam. Haroes berpolitik, bahkan wadjib berpolitik. Terlebih-lebih lagi, karena berpolitik adalah mengandoeng kewadjiban soetji, ialah kewadjiban memerintah Negeri kita sendiri dan kewadjiban mendjadi bangsa jang merdeka.

*Halaman 2 dari 8 halaman (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar