Di dalam perdjoeangan politik, maka kita selaloe haroes berpegangan kepada doea akidah politik. Akidah jang pertama ialah Ideologi atau tjita-tjita, tegasnja maksoed dan toedjoean daripada perdjoeangan politik. Tiap-tiap oesaha dan amal politik jang dilakoekannja haroes dan wadjib diarahkan kepada tertjapainja Ideologi itoe, walaupoen betapa poela goda dan tjoba dalam perdjalanan itoe.
Adapoen akidah politik kedoea ialah Realiteit, tegasnja: Kenjataan, ialah boekti sjari’at jang terletak didepan mata kita. Kenjataan itoe boleh meroepakan sedjoemlah kekoeatan, djiwa, harta, ketjakapan, kepandaian, dlls. Semoeanja itoe mewoejoedkan sjarat dan alat perdjoeangan, oentoek mendekati dan mentjapaikan maksoed serta toedjoean (Ideologi).
Satoe tamsil moengkin memoedahkan kita berpikir setjara politik. Taroehlah, kita ingin pergi ke Bandoeng atau Djakarta. Mengindjak Bandoeng atau Djakarta adalah maksoed kita. Itoelah Ideologi kita. Laloe kita mentjari dan memperoleh sjarat dan alat, oentoek menjempoernakan perdjalanan, mendapatkan Bandoeng atau Djakarta. Dikoempoelkannja oeang oentoek pelbagai biaja didjalan; dipersiapkannja perbekalan lainnja, seperti: mentjari kereta-api atau mobil jang pergi kearah itoe, naik sado pergi ke stasioen, dlls. Semoea persiapan dan perlengkapan oentoek melang-soengkan pepergian itoe dinamakan Realiteit atau Kenjataan. Taroehlah, kereta api tidak ada, karena perhoeboengan djalan kearah itoe terpoetoes, hendaknja kita mentjari mobil, Taroehlah, mobil tidak kita dapatkan, maka haroeslah kita mentjari kendaraan lain. Dan kalau achirnya kendaraan apapoen tidak moemkin diperdapat, maka dengan djalan kaki atau merangkak-rangkak sekalipoen hendaknja perdjalanan haroes teroes dilangsoengkan, asal perdjoeangan (pepergian) djangan sampai tertoenda atau terhenti, karena kekoerangan atau sepinja sjarat.
Seorang ahli perdjoeangan jang berideologi tidak pernah terhenti -djangankan sengadja menghentikan diri– dalam oesahanja mendekati dan mentjapai tjita-tjitanja. Moemkin pada soeatoe waktoe ia tampak lari “milir-moedik”, melompat kekanan dan kekiri, terbang kebarat atau ketimoer – karena keadaan dan kenjataan masjarakat tidak memberi kemoemkinan atau kelapangan lebih daripada itoe–, tetapi dalam pada ia terombang-ambing oleh gelombang masjarakat dan terdampar diatas pantai keseng-saraan, maka mata-hatinja tidak pernah lepas dari Ideologi. Tiap-tiap langkah dan geraknja selaloe diarahkan kepada tertjapainja ideologi. Ia hidoep dengan ideologinja dan ingin mati poen dalam djalan dan oesaha menoedjoe tertjapainja ideologi itoe.
Djiwa perdjoeangan jang seroepa itoe tiadalah ternilai harganja. Djiwa jang seroepa itoe adalah moestika bangsa, jang mendjadi benih kemoeliaan dan keloehoeran sesoeatoe Oemmat dan Agama.
Alhamdoe lillah, kita bangsa Indonesia masih boleh merasa bangga, bahwa didalam kalangan bangsa kita masih terdapat pemimpin-pemimpin Oemmat jang berboedi loehoer itoe. Hal ini kami anggap perloe menjatakannja, walau hanja dengan sepatah doea patah perkataan. Sebab menoeroet kedjadian dalam waktoe jang silam, baik pada zaman Belanda atau pada zaman Djepang maoepoen pada zaman merdeka ini, tidak sedikit djoemlahnja pendekar-pendekar bangsa jang hanjoet dalam laoetan goda dan tjoba kedoeniaan (pangkat, harta dlls) atau karena tidak tahan lagi kena poekoelan badai nista dan sengsara hina dan papa, ialah kadar resiko jang boleh dikoerniakan kepada tiap-tiap pemimpin ahli perdjoeangan bangsa, noesa dan agama. Tetapi, manakala jang satoe djatoeh, maka jang lainnja soedah siap sedia menggantikan tempat kedoedoekan kawannja. Memang ! Begitoelah perpoetaran roda “tjokro-panggilannja”, dan demikian poelalah agaknja perdjalanan Qoedrat-Oellah, jang mengoeasai segenap hoekoem “tjakrawala” dan semesta ‘alam ini.
Poen sebaliknja, kita haroes poela bertjermin kepada pelbagai peristiwa, jang orang boleh demikian jakin kepada sosoeatoe ideologi, sehingga loepa kepada realiteit “tergila-gila kepada ideologi sendiri”, mabok kepada kebenaran sendiri, sehingga sering loepa bahkan kadang-kadang tidak barang sedikit menaroeh perhatian atau pengharga-an kepada ideologi jang lainnja.
Penjakit “fanatisme” jang seroepa inilah jang moedah sekali jang membahajakan persatoean bangsa dan persatoean perdjoeangan, jang kesoedahannja bernatidjahkan kepada perpetjahan dan pertjideraan jang tidak diharapkan, teroetama sekali pada masa genting-roenting seperti sekarang ini, dimana tiap-tiap warga Negara seharoesnja merasa wadjib ikoet serta menjempoernakan perdjalanan Revolusi Nasional, jang lagi tengah kita hadapi bersama. Lebih-lebih lagi, kalau kita jakin, bahwa tiap-tiap perpetjahan antara kita dengan kita, adalah satoe keoentoengan bagi moesoeh. Tentang hal ini, lebih landjoet akan kami sadjikan dibagian jang lain.
Wal-hasil, keterangan dan penerangan ringkas diatas tjoekoeplah kiranja menoendjoekkan tentang wadjib kita, selaloe haroes berpegangan kepada kedoea “akidah politik itoe” djika kita hendak melaloei djalan jang sebaik-baiknja dalam per-djoeangan, menoedjoe dan mentjapai kemoeliaan dan keloehoeran Noesa, Bangsa dan Agama, tegasnja: Menegakkan Repoeblik Indonesia.
*Halaman 3 dari 8 halaman (bersambung)
*Halaman 3 dari 8 halaman (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar